Selasa, 22 Juni 2010

sejarah pecinta alam, mapala, dan apa itu kopasas

Pencinta Alam

Kata Pencinta Alam (PA) digunakan dengan harapan bisa memberikan kesejukan dan ketentraman bagi orang yang ada di sekitar di dalam aktivitas  PA sehari-hari, sebagaimana yang dimaknakan dalam unsur kata Cinta dan Alam.

Dalam aktivitasnya, PA harus selalu berpegang pada prinsip:

1.    Take nothing, but pictures [jangan ambil sesuatu kecuali gambar]

2.    Kill nothing, but times [jangan bunuh sesuatu kecuali waktu]

3.    Leave nothing, but foot-print [jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki]



dan senantiasa;

1.    Percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

2.    Percaya kepada kawan [dalam hal ini kawan adalah rekan penggiat dan peralatan/ perlengkapan, tentu saja juga harus dibarengi bahwa diri kita sendiri juga dapat dipercaya oleh “teman” tersebut dengan menjaga, memelihara, dan melindunginya]

3.    Percaya kepada diri sendiri, yaitu percaya bahwa kita mampu melakukan segala sesuatunya dengan baik.



Sejarah dan Perkembangan Pencinta Alam

Sebetulnya, sejarah manusia tidak pernah jauh dari alam. Sejak zaman prasejarah --di mana manusia berburu dan mengumpulkan makanan, bagi manusia, alam adalah "rumah", gunung adalah sandaran kepala, padang rumput adalah tempat membaringkan tubuh, dan gua-gua adalah tempat bersembunyi. Namun, sejak manusia menemukan kebudayaan (yang katanya lebih "bermartabat"), alam seakan menjadi “barang aneh”, sehingga manusia lebih memilih mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi, menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan tubuh, dan mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat kepalanya. Manusia dan alam akhirnya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Dan ketika keduanya bersatu kembali, maka ketika itulah Sejarah Pencinta Alam dimulai.

Berawal dari sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville yang mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 mdpl/meter di atas permukaan laut), di kawasan Vercors Massif pada tahun 1492. Saat itu, belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung pertama atau bukan, namun beberapa dekade kemudian, para pemburu chamois (sejenis kambing gunung ) adalah orang-orang yang naik-turun tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen. Inilah pendakian gunung tertua yang pernah dicatat dalam sejarah.

Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623, saat Yan Carstensz menemukan "sebuah pegunungan yang sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju" di Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya (Papua), yakni Puncak Cartensz.

Pada tahun 1786, puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak Mont Blanc (4807 m dpl) di Perancis. Lalu, pada tahun 1852, Puncak Everest setinggi 8840 m dpl ditemukan. Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, sedangkan orang Tibet menyebutnya Chomolungma. Puncak Everest ini berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke atap-atap dunia pun semakin ramai.

Di Indonesia, sejarah pencinta alam (PA) dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu "Perkumpulan Pentjinta Alam" (PPA), yang didirikan pada tanggal 18 Oktober 1953. PPA merupakan perkumpulan hobi yang diartikan sebagai suatu kegemaran positif serta suci, terlepas dari 'sifat maniak' yang semata-mata melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam dan seisinya, baik di kalangan anggotanya maupun masyarakat umum. Sayangnya, perkumpulan ini tak berumur panjang, karena faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung, sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun 1960. Awibowo sebagai pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air ini mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya, mengandung makna mengabdi, daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka. "Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?."



Sejarah Pencinta Alam Kampus pada Era 1960-an

Pada saat itu, kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini mula–mula dikemukakan Soe Hok-gie pada suatu sore tanggal 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini --seperti yang dikemukakan Soe Hok-gie sendiri-- diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak Gunung Pangrango (Jawa Barat). Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat.

Sayangnya, organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, di depan ruang perpustakaan, hadir pada saat itu Herman O. Lantang --yang saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Kemudian dicetuskanlah nama IMPALA, yakni singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahasiswa dan Alumni (Mahalum), Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito, yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut, disarankanlah agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA, karena nama IMPALA dinilai terlalu borjuis. Nama MAPALA PRAJNAPARAMITA ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Menurutnya, Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam dan Prajnaparamita berarti “dewi pengetahuan”. Selain itu, mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi, dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis, selain dari hobi individual pengikutnya (dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antarorganisasi).[1]

Dalam tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Hok-gie mengatakan bahwa:

Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik



Para mahasiswa itu (diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia), membuang energi mudanya dengan merambah alam, mulai dari lautan sampai ke puncak gunung. Mapala adalah organisasi yang beranggotakan para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pencinta alam pun merambah tak hanya kampus (kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki Mapala baik di tingkat universitas/institut/sekolah tinggi maupun fakultas hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong, atau kampung-kampung. Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah merasa sebagai pencinta alam.

Dan akhirnya, virus Mapala pun merambah ke kampus STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung (STAIN SAS Babel). Bermula dari ketertarikan beberapa mahasiswa terhadap kegiatan alam bebas, disepakati untuk membentuk embrio Mapala (sewaktu kampus STAIN SAS Babel masih di Sungailiat). Setelah sempat “mati suri” beberapa lama, pada tanggal 2008, dalam acara kemping bersama di bumi perkemahan (buper) Pantai Pasir Padi, Pangkalpinang, beberapa pendiri yang masih tersisa dan beberapa anggota yang baru bergabung sepakat mendeklarasikan secara resmi Mapala ini. Setelah beberapa tahun menjadi salah satu departemen di dalam organisasi Badan Eksekutif mahasiswa (BEM), akhirnya pada tahun 2010, Mapala ini resmi menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM) dengan nama Komunitas Pencinta Alam STAIN SAS (KOPASSAS).



MAPALA, Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi

Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama MAPALA? Banyak orang memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan uang. Suara-suara itu semakin santer terdengar, terutama bila ada pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh anggota Mapala pada waktu melakukan kegiatan di alam.

Dalam sebuah diskusi (mengutip dalam artikel Kompas, Minggu 29 Maret 1992) dikatakan bahwa kegiatan Mapala dapat dikategorikan sebagai olahraga yang masuk ke dalam kaliber olahraga (sport) berisiko tinggi. Kegiatannya meliputi; mendaki puncak gunung tinggi (mountaineering), turun ke lubang gua di dalam perut bumi (caving), hanyut berperahu di kederasan jeram sungai deras (rafting), memanjat tebing-tebing batu yang tinggi (climbing), keluar-masuk daerah pedalaman yang paling dalam, dan lainnya. Umumnya, kegiatan Mapala berkisar di alam terbuka dan menyangkut lingkungan hidup seperti penghijauan dsb.

Tak ayal lagi bahwa kegiatan ini berisiko tinggi dan setiap anggotanya harus memahami konsekuensi risiko yang dihadapi saat bergabung dengan organisasi ini. Risiko yang paling berat adalah cacat fisik permanen dan bahkan kematian. Untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi risiko yang tinggi ini, dibutuhkan kesiapan mental, fisik, dan skill yang memadai. Berbagai macam latihan dan pengalaman terjun langsung ke alam dapat meminimalisir risiko yang akan dihadapi. Tapi, di luar semua itu, masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang, yakni TUHAN.



MAPALA, Pencinta Alam atau Petualang?

Dua nama, pencinta alam dan petualang, seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Namun, kalau dilihat secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Jika pencinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), maka petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung risiko tinggi, dsb. Dengan demikian, secara etimologi, jelas disiratkan bahwa keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, yakni alam. Di lain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang PA lebih populer dengan gerakan enviromentalism-nya. Sementara petualang, aktivitasnya lebih lekat dengan adventure-nya, seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai, dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.

Kini, yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah, “di manakah para PA berada dan petualang yang menggunakan alam sebagai medianya?”. Tapi celakanya, tak jarang aktivitas “mereka” bahkan berakhir dengan terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai PA, misalkan terjadinya praktik-paktik vandalisme (perusakan). Inilah sebenarnya yang harus dikembalikan tujuan dan arahnya, sehingga jelas fungsi dan gerak mereka pun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka.

Sayangnya, keberadaaan mereka belum mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai PA, sebagai petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan. Dengan demikian, banyak di antara para PA itu cuma sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat.







KOPASAS, Pencinta Alam+Intelek+Petualang

Akhir-akhir ini, di mana degradasi lingkungan dirasa semakin parah, maka peran PA sangat penting untuk membantu melestarikan lingkungan. Untuk melengkapi perannya sebagai duta lingkungan hidup, KOPASAS sebagai PPA yang notabene anggotanya adalah mahasiswa, dituntut pula untuk meng-upgrade ilmu, pengetahuan, minat, dan niat yang tulus untuk selalu belajar, menambah pengetahuannya bukan hanya hal-hal yang menyangkut tentang outdoor skills, tetapi juga harus beretika dan berintelektual. Karena seorang anggota KOPASAS notabene juga adalah mahasiswa(yang berintelektual), anggota KOPASAS dituntut bukan hanya menguasai skill tentang outdoor activities, tetapi juga haruslah sebagai mahasiswa yang rasionalis, analitik, kritis, universal, dan sistematis.

KOPASAS sadar, bahwa dibutuhkan sisi Intelektual untuk menjembatani dan melengkapi sisi kepencintaalaman dengan sisi petualangan. KOPASAS sebagai organisasi intelektual dengan gerakan cinta alam dan lingkungan bermental petualangan yang berjuang keras dalam menjaga keseimbangan alam ini sebagai satu gerakan untuk masa depan akan lebih berarti tindakannya dengan komitmen dan loyalitas yang tinggi dari anggotanya. Sebuah harapan untuk mengembalikan keseimbangan alam ini, perbedaan pola pikir dan arah gerak kepencintaalaman dengan petualangan dijembatani oleh sisi intelektualitas para anggotanya yang merupakan spesialisasi dan menjadi ciri dari KOPASAS yang memahami pentingnya menjaga, memelihara, melindung, serta melestarikan alam Tanah Air tercinta ini dan melakukannya secara aman dan tertib. Bukanlah suatu kemustahilan ketiga sisi tersebut bersatu untuk masa depan lingkungan hidup Indonesia, sehingga terciptanya lingkungan hidup yang seimbang, stabil, dan bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan masa depan.




[1] Lihat Soe Hok-gie sekali lagi..... (2009)

1 komentar: