Jumat, 25 Desember 2009

Deskripsi tentang Hasan Hanafi, Cak Nur, dan Kuntiwijoyo








Nama : Rabian Syahbana

NIM : 0711059

Semester : V/A

A. Hassan Hanafi

Hasan hanafi seorang pemikir modernis yang gagasannya terfokus pada perlunya pembaharuan rekontruksi Islam yang dia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Dia berpendapat penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.

Dalam pandangan Hanafi, Islam ada­lah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam me­miliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketunduk­an; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.

Meskipun berhaluan ‘kiri’, Hanafi bukanlah pengikut Marx, meskipun dia terobesesi untuk menciptakan ‘Das Kapital’ versi Islam. Dalam khazanah pemikiran politik, pilihan Hanafi ini tergolong ke dalam aliran Neo-Marxis. Tapi, Neo-Marxis yang dia anut hanya sekedar istilah. Sebab banyak teori yang dikembangkanya, bahkan tak ada kaitannya dengan Marx sama sekali. Marxis, Neo-Marxis, ‘kiri’ telah menjadi icon, yang punya posisi sendiri di pasar intelektual (intellectual market).

Hanafi menganut konsep revolusi yaitu revolusi kebudayaan, pemikiran, dan ideologi. Yakni, bagaimana caranya mengubah tauhid dari akidah pasif menjadi tradisi progresif, alias tidak sekedar patuh pada penguasa despotik, dan oportunis pada penguasa yang zalim. Teologinya bercorak membumi. Katanya, “Saya ingin kembali ke bumi. Kekal bersama kaum fakir, miskin, dan kalangan pengangguran”. Memang kesannya agak ekstrim. Tema ini selalu dikedepankan Hanafi, mungkin untuk menarik perhatian orang, bahwa Islam mengakomodasi kepentingan rakyat kecil. Mungkin saja itu hanya sekedar retorika. Betapa pun demikian retorika tetaplah perlu, untuk, sekali lagi mengingatkan banyak umat Islam yang lalai pada kaum papa dan ketidakadilan. Bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada.

''Yang bisa menolong kaum muslim sendiri,'' ujarnya dalam satu diskusi yang diselenggarakan mahasiswa Indonesia di Mesir pada tahun 2000, adalah melakukan rekonstruksi (i'adah bina/pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia telah terjadi stagnasi pemikiran. Dan itu, katanya, menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam.

Dengan adanya rekontruksi, Hasan Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan yang berat sekalipun, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut harus diubah. Sedangkan yang Hanafi sebut sebagai 'kanan Islam' adalah hidupnya al-turath (tradisi), yang merupakan akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam menjawab tantangan zamannya, yang justru menguatkan ketidakadilan tersebut.

Hanafi juga amat bersemangat dalam mengkritik kemandegan dunia Islam. Menurutnya, salah satu penyebab utama adalah terlalu dominannya aliran sufisme yang bergandengan tangan dengan Asy’arisme (sebuah aliran teologi kalam dalam pemikiran Islam). Paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Menurut Hanafi, orang Islam, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme), sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang. Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.

Meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya. Dengan oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan) dunia.

Ia yakin, setiap sistem atau negara yang ada di dunia ini berasaskan suatu pandangan tertentu, sebuah fundamentalisme. Sebagaimana negara kapitalis yang berdasar free market atau negara sosialis beralaskan keadilan sosial, negara Islam tentu didasarkan pada pandangan Islam. Fundamentalisme Islam, dalam salah satu maknanya, berusaha untuk merumuskan pandangan itu dan mengetrapkannya: membangun sistem Islam dan mempertahankannya.

Pada seminar di Kairo (1996), Hanafi mengatakan konsep Islam nasionalis (Islam Al Watani) sangat tepat diterapkan di Indonesia. Islam nasionalis adalah Islam yang membela kepentingan nasional, memelihara persatuan bangsa dan kesatuan teritorial dari ancaman disintegrasi dan sektarianisme.

Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi riil problem umat Islam saat ini, seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos kerja, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. ''Saya ingin memperkenalkan Islam modern, yang memberi penafsiran baru terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan modernitas, tanpa harus taklid pada Barat dan juga ulama klasik Arab. Islam yang saya maksud mendorong bangkitnya budaya nasional serta melestarikan identitas bangsa Indonesia,'' paparnya.

Dalam pandangannya, Islam yang dibutuhkan Indonesia bukan konservatif yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler Barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. ''Apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni teritorial dan identitas budaya, serta nasionalisme, dan khasanah warisan di satu sisi dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi hukum di sisi lain.

2. Nurcholis Madjid

               Nurcholis Madjid atau yang lebih akrab disapa dengan nama Cak Nur mempunyai pandangan tentang metode dalam dunia pendidikan terutama dalam Islam. 

Berbicara pemikiran Cak Nur tentang pluralisme, sama sekali berbeda jauh dengan definisi pluralisme yang dipahami dan diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Pluralisme (Agama): paham bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap agama adalah relative: setiap pemeluk agama boleh mengklaim hanya agamanya yang benar/ semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.

Penyebabnya adalah tiga sikap yaitu: Pertama, Sikap Ekslusif. Sikap keagamaan yang tertutup dan memandang bahwa keselamatan hanya ada pada agama dan teologinya. Kedua, Sikap Inklusif. Sikap keagamaan yang membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan dalam ajaran-ajaran agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktifitas Tuhan hanya ada pada satu agama (Kristen). Ketiga, Sikap Paralelisme, Sikap keagamaan yang memandang bahwa keselamatan ada pada semua agama.

Ø  Dalam konteks Global
Metode Cak Nur ini menganjurkan setiap makhluk yang hidup di dunia ini mulanya dari rahim dan itu bersifat objektif, berhasil atau tidaknya manusia di dunia ini tergantung dengan ilmu yang didapat dan diamalkan di dunia. Sebab walaupun Umat Islam merupakan umat terbaik tetapi di dunia ini Allah menyebarkan rizki secara objektif, sesuai dengan nama Allah yaitu ArRahman. Didunia Allah tidak pandang bulu baik itu Islam ataupun bukan sebab yang mengangkat derajat manusia di dunia adalah ilmu. Pengembangan sikap keagamaan ini melihat semua agama yang ada di dunia ini prinsipnya sama.
Cak Nur menginginkan Islam yang integratif (menyeluruh) dan itu membuat Iman sebagai sesuatu yang terotik dan ilmu sebagai atentik yang menggunakan rasionalisasi.
Ø  Dalam konteks Nasional
Cak Nur beranggapan masalah Islam di Indonesia ini bukanlah tentang bid’ah yang tersebar di Indonesia sebab itu terlalu kecil yang besar adalah pemikiran/rasionya masyarakat harus diubah terutama dalam bidang ilmu. Agar derajat masyarakat meningkat di dunia maupun di akhirat.
 

3. Kuntowijoyo

Kuntowijoyo, kelahiran 18 September 1943 meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun, adalah seorang pemikir yang luar biasa dan sastrawan yang jeli mengangkat persoalan sehari-hari secara detil dan menarik dalam karyanya. Sebagai seorang Muslim pemikir, Kunto ingin menemukan bagaimana janji Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat dijadikan kenyataan. Haruskah untuk itu Islam dijadikan ideologi? Atau paradigma keilmuan? Haruskah hermeneutika diterapkan untuk memahami pesan al-Qur'an? Atau strukturalisme?

Secara harfiah, frasa “pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dari sini saja bisa muncul banyak pertanyaan. Pertama, perlu diperhatikan bahwa ia tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, misalnya. Tapi Islam itu sendiri yang merupakan ilmu. Dengan “pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam adalah caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.

Periodisasi ini sesungguhnya awalnya dibuat untuk membagi sejarah politik umat Islam (khususnya di Indonesia). Namun karena pembagian ini dibuat berdasarkan sistem pengetahuan masyarakat, ia berguna pula untuk memahami gerakan pengilmuan Islam yang diusulkan untuk periode terakhir umat Islam ini. Pada periode pertama, Islam dipahami lebih sebagai mitos ; sebagai sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, dijaga kemurniannya dari campuran-campuran non-islami, dan jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar. Karenanya Kunto menyebut bahwa tradisi ini biasanya bersifat deklaratif atau apologetis.

Manusia adalah pucak ciptaan, merupakan makhluk denagan derajat tertinggi dan wakil Allah di muka bumi. Sesuatu manusia yang membuat manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada pada dirinya melainkan suatu integrasi susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang husus dimilki manusia saja yaitu fitrah. Fitrah membuat manusia suci dan dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Dalam konsep humanisme, bahwa tujuan humanisasi adalah memanusialan manusia.

Agama lebih dulu diobjektifikasi, agar ia benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya memenuhi keinginan eksklusif sebagian kaum beragama tertentu untuk menegaskan identitasnya. Persis itulah yang menjadi salah satu tujuan objektifikasi, yaitu untuk menghindari dominasi satu kelompok agama atas kelompok-kelompok lainnya. (ISI, 65) Dengan ini, Muslim masih dapat tetap menjadikan al-Qur'an sebagai sumber hukum. Namun, “Objektivikasi Islam akan menjadikan al-Qur'an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara.” (ISI, 66) Muslim tak dapat serta merta menerapkan syari'ah menjadi hukum negara, misalnya, tapi itu hanya dapat dilakukan jika ada kesepakatan dari semua, termasuk non-Muslim. Ini hanya bisa dicapai jika nilai-nilai Islam itu telah diobjektifikasi sehingga tampil sebagai nilai-nilai yang dapat diterima semua orang lepas dari latar belakang/sumber nilai-nilai itu.

Di atas “pengilmuan Islam” dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan “pengilmuan Islam”. Dalam konteks yang berbeda, Kunto membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan islamisasi ilmu . (ISI, 6-11) Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks ke konteks; islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks; sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur'an dan Sunnah).

Beberapa paragraf terakhir di atas menyiratkan beberapa pra-anggapan filosofis Kuntowijoyo. Setidaknya ada dua hal yang bisa dicatat di sini: (1) Dalam polarisasi mazhab rasionalis dan tekstualis, posisi Kuntowijoyo ada dalam “kubu” pemikiran Islam yang lebih rasionalis; (2) Ia meyakini bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar