Jumat, 11 September 2009

paradigma eksistensialisme

Makalah: Filsafat Ilmu
Oleh :
Nama : 1. Hendri syahputra NIM : 0711023
2. Rabian syahbana NIM : 0711059
3. Rudiansyah NIM : 0711066
Semester: IV
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb. Alhamdulillahhirobbil alamin wasalatu wassalamuaalai’asysyrofil anbiya wal mursalina sayyidina Muhammad wa’ala alihi washobihi ajmain.
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tak lupa penyusun haturkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Pembahasan tugas kali ini, penulis mencoba membahas tentang mata kuliah filsafat ilmu untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen mata kuliah kepada kami. Kali ini kami mencakup pembahasan tentang paradigma eksistensialisme.
Penulis menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna untuk itu tanggapan, teguran, dan kritikan serta saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan dari teman-teman. Penulis juga berharap tugas ini bermanfaat dan dapat dipergunakan untuk mahasiswa sekalian. Wassalamualaikum Wr.Wb.
Petaling, 2009
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tidak banyak aliran filsafat yang mengguncang dunia; filsafat eksistensialisme adalah salah satu di antaranya. Nanti anda akan melihat bahwa filsafat ini tidak luar biasa, akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Akan tetapi, isme ini termasuk isme yang membuat guncangan yang hebat. Setelah selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin heidegger (lahir 1839) di gubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpen sekalipun ia telah bekerja sama dengan Nazi. Takkala seorang filosof eksisitensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengadakan perjalanan keliling Amerika, dia disebut oleh orang Amerika sebagai the King of Existentialism. Bila cerita sandiwaranya dipentaskan, orang telah menyiapkan ambulans untuk mengangkut penonton yang jatuh pingsan. Demikianlah sekadar penggambaran kehebatan filsafat eksistensialisme. Sayangnya filsafat ini sulit dipahami oleh pemula.[1]
Eksistensialisme mengakui bahwa eksistensi mendahului esensi (hakikat). Sebagaimana Marxisme, eksistensialisme mengutamakan manusia sebagai individu yang bebas dan menghilangkan peranan Tuhan dalam kehidupannya. Eksistensialisme mengutamakan kemajuan dan perbaikan pribadi, berbeda dengan Marxisme yang mengutamakan perbaikan manusia dari segi sosial. Eksistensialisme yang ekstrim tidak hanya sampai pada ketidakpercayaan kepada Tuhan, bahkan menyerang Tuhan. Nietzsche, salah seorang tokoh eksistensialisme, dengan lantang mengatakan bahwa Tuhan telah mati dan dikubur. Karena itu, para penganut agama tidak perlu lagi takut akan dosa. Berbeda dengan Nietzsche, Soren Kierkegaard masih mengakui keberadaan Tuhan, bahkan puncak pemikirannya berakhir pada Zat Yang Mutlak, yaitu Tuhan. Tuhan, baginya, adalah tempat untuk menyerahkan segala kesejatian dan hidupnya. Soren Aabye Kierkegaard, salah seorang pelopor eksistensialisme, menekankan pembahasannya pada individu yang otonom dan menolak segala bentuk pengelompokan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Paradigma Eksistensialisme
Paradigma adalah daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata atau model dulu teori ilmu pengetahuan atau bisa juga diartikan kerangka berpikir.[2] Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :1. Cara memandang sesuatu.2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Dalam “The structure of Science Revolution”, Kuhn menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Paradigma merupakan suatu keputusan yudikatif dalam hukum yang tidak tertulis.Secara singkat pengertian pradigma adalah Keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.[3]
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exiat yang berasal dari kata latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut desain. Da berarti di sana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti di sana, di tempat Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan dirinya. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar akan dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi.[4]
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahuai mana yang benar dan yang mana yang tidak benar.[5] Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan.[6] Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.[7]
Eksitensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya dalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti cara manusia berada dengan cara berada benda-benda, sebab benda-benda tidak sadar akan keberadaannnya sebagai sesuatu yang memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki makna bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada. Dalam pemikiran ini jelas bahwa manusia dapat memastikan diri bahwa dirinya ada.
Amat sukar mengatakan apa eksistensialisme itu, karena di dalamnya terkandung beberapa aliran yang sungguh-sungguh tidak sama. sifat-sifat umum bagi penganut-penganut yang dinamai orang eksistensialisme itu:
Orang menyuguhkan dirinya (existere) dalam kesungguhan yang tertentu.
Orang harus berhubungan dengan dunia.
Orang merupakan kesatuansebelum adea perpisahan antara jiwa dan badan.
Orang berhubungan dengan ada.[8]
B. Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian, filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Ini berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau dirinya, misalnya ia mempersoalkan Tuhan atau dunia sekelilingnya, tetapi dalam hal seperti itu manusia sesungguhnya masih mempersoalkan dirinya juga. Bahwa dalam filsafat eksistensi manusia tegas-tegas dijadikan tema senteral, menunjukkan bahwa di tempat itu (barat) sedang berjangkit suatu krisis yamg luar biasa hebatnya (Beerling, 1966:211-12).
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.[9]
Sifat materialisme ternyata merupakan salah satu pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensi ialah orang cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon dan batu. Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia, aliran eksistensialisme mula-mula mengahantam materialisme. Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.
Rene Le Scene, seorang existentialis, merumuskan kesalahan materalisme itu secara singkat: kesalahan itu ialah detotalisasi. De artinya memungkiri, total artinya seluruh. Maksudnya, memungkiri manusia sebagai keseluruhan. Pandangan materialisme itu belum mencangkup manusia secara keseluruhan. Pandangan Materialisme itu belum mencangkup manusia secara keseluruhan. Pandangan tentang manusia seperti pada materialisme itu akan membawa konsekuensi yang amat penting (Drijarkara, 1966:57-60). Lahirnya eksistensialisme merupakan salah satu dari konsekuensi itu.[10]
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materalisme dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrem. Kedua-duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi keduaduanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu. Materalisme memandang kejasmanian (materi) sebagai keseluruhan manusia, padahal itu adalah aspek manusia. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa sebagai subjek. Manusia berpikir, berkesadaran; inilah yang tidak di sadari oleh materialisme. Akan tetapi, sebaliknya, aspek ini (berpikir, berkesadaran) dilebih-lebihkan oleh idealisme sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Eksistensialisme dapat diidentifikasi melalui cirinya sebagai berikut;
eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang imperasional (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakkan masa. Masyarakat industri cenderung untuk menundukkan orang seorang kepada mesin.
Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau masa.
Eksistensialisme menekann situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
Eksistensialisme menekan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.[11]
C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme
1. Soren Klerkegaard (1913-1855)
Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, merupakan pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan. Ia menikahi Ane Sorendatter Lund, seorang pembantu yang tidak pernah memperoleh pendidikan; istri pertamanya meninggal dua tahun setelah pernikahan mereka.
Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi. Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen menjadi gurunya di sana.[12]
Suatu reaksi terhadap idealisme yang sama sekali berbeda dari reaksi materalisme ialah yang berasal dari pemikir Denmark yang bernama Soren Kierkegaard. Menurut Kierkegaard, filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu pengekspresian eksistensi individual. Karena ia menentang filsafat yang bercorak sistematis, dapat dimengerti mengapa ia menulis karyanya dengan menggunakan nama samaran. Dengan cara demikian, ia mencoba menghindari anggapan bahwa bukunya merupakan gambaran tentang fase-fase perkembangan pemikirannya. Dengan menggunakan nama samaran, mungkinlah ia menyerang pendapat-pendapatnya di dalam bukunya yang lain.
Pertama-tama Kierkegaard memberikan kritik terhadap Hegel. Ia berkenalan dengan filsafat Hegel ketika belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Mula-mula memang ia tertarik dengan filsafat Hegel yang telah populer di kalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi tidak lama kemudian ia melancarkan kritiknya.
Keberatan utama yang diajukan oleh Kierkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkret karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum”, tetapi sebagai ”aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalm sesuatu yang lain. Dengan demikian, Kiergaard memperkenalkan istilah “eksistensi” dalam suatu arti yang mempunyai peran besar pada abad ke-20. Hanya manusia yang mampu bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu kali untuk selamanya, tetapi pada setiap saat eksistensi saya menjadi objek pemilihan baru. Bereksistensi ialah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya.
Meskipun melancarkan kritik yang sangat keras terhadap gereja, ia tetap berkunjung ke gereja. Tidak untuk menghadiri ibadah. Ia hanya duduk di luar gereja dengan tenang pada hari Minggu. Namun, ia tetap memberikan perpuluhan kepada gereja. Ketika ia hendak pulang ke rumah dengan uang terakhir yang dimilikinya, Kierkegaard terjatuh tak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit dan meninggal lima minggu kemudian. Ia meninggal pada tanggal 11 November 1855. Pemakaman Kierkegaard tidak dihadiri oleh pendeta manapun. Hanya dua orang sepenting Peter, saudara laki-lakinya yang telah menjadi uskup, dan dekan dari sebuah katedral.[13]
Menurut Parkay (1998) aliran eksistensialisme terbagi dua bersifat theistik (bertuhan) dan atheistik. Salah satu tokoh aliran eksistensialisme bersifat atheistik adalah Friedrich Nietzche.
2. Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
Nietzsche, tidak saja menolak wujud Tuhan, tetapi juga menyerang Tuhan. Dengan mematikan Tuhan, demikian Nietzsche, manusia baru bisa bebas berbuat dan bertindak. Sebab, selama ini manusia selalu dikungkung oleh nilai-nilai agama, seperti pahala dan dosa. Dia bebas untuk menentukan nasibnya dan menjadi manusia super. Manusia super, demikian Nietzsche adalah tujuan manusia yang sempurna, lawannya adalah manusia budak yang tidak memiliki ambisi. Kebajikan utama adalah kekuatan, yang kuatlah yang menang dan segala yang baik harus kuat. Sebaliknya, yang lemah pasti buruk. Perang, menurutnya, adalah gejala yang wajar untuk menentukan siapa yang terkuat dari berbagai bangsa.
Menurut Nietzsche, pikiran-pikiran tentang persamaan derajat manusia atau antar bangsa adalah mustahil dan bertentangan denga kodrat alam. Manusia, demikian Nietzsche , harus dilihat dalam konteks yang selalu berbeda dengan yang lain. Adanya usaha untuk menyamakan manusia, seperti demokrasi, sebenarnya menentang kodrat alam secara diferensiasi. Manusia secara kodrati memiliki kemampuan yang berbeda.
Untuk membebaskan pikiran manusia dari ide tentang Tuhan, menurut Niestzche, seseorang tidak harus menyalahkan bukti-bukti yang menduga adanya Tuhan. Dia harus menyerang nilai-nilai kristen yang merendahkan derajat manusia dan menggantikannya dengan nilai yang mulia dan agung. Dengan kemauan yang keras, manusia harus membebaskan dirinya sendiri dari nilai-nilai Tuhan yang membebani. Ateisme dimata Nietszche, bukanlah masalah spekulatif, tetapi lebih merupakan sesuatu pengukuhan eksistensial.
Untuk menjadi benar-benar agung, demikian Nietszche, manusia harus gencar mengumandangkan kematian Tuhan. ”kita telah membunuh Tuhan”, tulis Nietszche, dalam suatu kesadaran mistis. ”Perbuatan ini terlalu agung bagi kita. Karena itu, tidak perlukah jika sebagai akibat dari tindakan ini, kita sendiri menjadi dewa-dewi?”, jerit Nietszche.
Tuhan yang dibunuh oleh Nietzsche adalah tuhan ’akibat’ bukan tuhan ’sebab’. Tuhan sebagai pencipta alam tidak disinggung olehnya karena memang tidak mendatangkan hasil bagi kehidupan. Yang ditentengnya adalah tuhan orang Eropa yang menyengsarakan rakyat, dan menjadikan rakyat penurut dan penakut. Seandainya ada ’tuhan’ yang sesuai dengan ide Nietzsche, tentu dia mengakuinya. Dan untuk itu dia memang menciptakan tuhan sendiri yang bernama Zarathustra, yaitu dirinya sendiri.[14]
3. Jean Paul Sartre (1905-1980)
Tokoh eksistensialisme sesudah Nietzsche adalah J.P Sartre, abad 20. menurut pengakuannya, dia kehilangan kepercayaan ketika berumur 11 tahun. Tuhan, demikian Sartre, tidak merupakan hal yang sangat jelas bagi dia, sehingga dia menganggap sama sekali tidak ada gunanya untuk menyelidiki dan membukukan kesalahan argumen tradisional dan modern tentang eksistensi Tuhan. Dia menganggap bahwa tuhan hanya merupakan proyeksi dari jiwa manusia. Hipotesa tentang tuhan tidak diperlukan untuk mewujudkan dan memahami eksistensi manusia. Baik tuhan ada atau tidak ada tidak mengubah kondisi nyata manusia, tulis Sartre. Sebab, seandainya tuhan ada, manusia sama sekali tidak berarti; seandainya manusia ada sebagai pelindung par excellence, paling sempurna dari tatanan nilai-nilai moral dan rasional yang mapan. Tuhan harus ditolak atas nama kemerdekaan. Alasannya adalah bahwa manusia tidak akan menjadi bebas bila ada satu tatanan nilai yang absolut dan universal.
Kemerdekaan manusia, menurut Sartre, adalah mutlak dan sekaligus merupakan suatu hukuman, sebagaimana pohon dihukum menjadi pohon, manusia dihukum menjadi bebas. Dibalik kebebasan itu, manusia dituntut bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab itu meliputi kemanusiaan secara umum sebab dia dituntut memilih berbagai kemungkinan yang tersedia. Disinilah letaknya, seseorang yang memilih diliputi dengan kecemasan atas tanggungjawab.
Pada tanggal 15 april 1980 dunia filsafat dikagetkan oleh berita meninggalnya seorang filosof besar prancis, tokoh paling penting filsaat eksistensialisme, yaitu Jean Paul Sartre. Dialah yang menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukanlah dia, melainkan Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) (Kaufmann, 1976:192).
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928. setelah tamat dari sekolah itu pada tahun 1929 ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycess, baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit novelnya yang berjudul La Nausee, dan Le Mur terbit pada tahun 1939. sejak itu muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat. Pada tahun 1943 ia menyelesaikan bukunya yang terkenal L’Etre et Le Neant, dan pada tahun 1960 terbit bukunya, Critique de la Raison Dialectique (diambil dari Encyclopedia of Philosophy, 7-8, 1967:287-288).[15]
Bagi Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada di dunia ni, terutama cara berada manusia. Dengan perkataan lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusia bereksistensi. Binatang, tetumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi (Drijakara, 1966:57). Filsafat eksistensialisme mendamparkan manusia ke dunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya (Hassan:9).
Sartre adalah filosof ateis. Itu dinyatakannya secara terang-terangan. Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukanlah ciptaan tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Bagi Sartre, karena manusia itu penggada yang sadar (letre-pour-soi), persoalannya menjadi rumit. Pertama ia sadar. Dari sini muncul tanggung jawab. Karena tanggung jawab, manusia harus menentukan. Dari sini timbul kesendirian (kesepian), lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan lagi: dari kesadaran itu muncul penyangkalan (neantiser). Manusia itu selalu menyangkal.
Jean Paul Sarte membedakan rasio analitis. Rasio analitis dijalankan dalam ilmu pengetahuan. Rasio dialektis harus digunakan, jika kita berfikir tentang manusia, sejarah, dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini bersifat dialektis, karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan pengetahuan. Di sini ada tidak dilahap oleh pengetahuan (seperti halnya idealisme), tetapi pengetahuan termasuk Ada, artinya pengetahuan merupakan suatu proses yang berlangsung dalam Ada. Rasio ini dialektis larena objek yang diselidikinya bersifat dialektis dan juga karena ia sendiri ditentukan oleh tenpatnya dalam sejarah.[16]
Sebagian besar buku sartre berisi uraian yang tajam dan sinis tentang hubungan antarmanusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang terakhir ialah revalitas dan konflik. Menurut Sartre ada dua kemungkinan hubungan antarmanusia itu: menjadi subjek atau menjadi objek, memakan atau dimakan (Drijarkara:89).
Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat eksistensi manusia: eksistensi manusia mendahului esensinya. Mulainya manusia bereksistensi ialah sejak ia mengenal dirinya dan dunia yang dihadapinya. Itu berarti bahwa ia telah berkesadaran. Dari kesadaran itu muncullah tanggung jawab. Karena bertanggung jawab, maka manusia harus memilih, menentukan, memutuskan. Itu dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi penderitaan.
Kehidupan bersama diperlikan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka bagi manusia. Dilema lagi. Memang filsafat Sartre penuh -kalau bukan seluruhnya- oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya diselesaikan dalam teisme. Filsafat Sartre bentrokan dengan realitas, buah pikiran Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji.
4. Karl Jaspers, Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
5. Martin Heidegger, Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Paradigma adalah daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata atau model dulu teori ilmu pengetahuan atau bisa juga diartikan kerangka berpikir. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahuai mana yang benar dan yang mana yang tidak benar.
Lahirnya eksistensialisme tidak dapat dilepaskan dari situasi Eropa pada waktu itu, yaitu mulainya abad pencerahan dan munculnya proses massifikasi oleh berbagai institusi, baik agama maupun negara. Pemikiran yang radikal tentang manusia ini tidak lain adalah reaksi atas titik ekstrim yang terjadi waktu itu. Titik ekstrim tersebut, seperti keabsolutan nilai, opini umum, dan hilangnya ketunggalan manusia dalam kelompok yang direkayasa. Jadi, eksistensialisme tidak saja sebagai pemikiran filsafat murni, tetapi juga reaksi atas keadaan institusi sosial yabg begitu mapan.
Karena itu, eksistensialisme tidak perlu dikhawatirkan oleh kaum agama dikawasan lain karena situasinya berbeda. Yang perlu diwaspadai adalah apabila suatu pemikiran atau nilai terlalu diabsolutkan, maka reaksi akan muncul dari berbagai pihak.

[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 217-218
[2]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 828.
[3]Anonimus, “Shift paradigma Thomas Kuhn”, (online) avaible: http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/, diakses pada tanggal 30 April 2009.
[4]Ahmad Tafsir, OP Cit, hal. 218.
[5] Departemen Pendidikan Nasional, Op Cit, hal. 288.
[6]Anonimus, “Eksistensialisme”, (online) avaible: http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme, diakses pada tanggal 1 Mei 2009.
[7]Anonimus, “Berkenalan dengan Eksistensialisme”, (online) avaible: http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/07/01/eksistensialisme/, diakses pada tanggal 1 Mei 2009.
[8] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: rineka Cipta, 2008, Jakarta), hal. 344-345.
[9] Berkenalan dengan Eksistensialisme, Op Cit.
[10]Ahmad Tafsir, Op Cit, Hal. 220.
[11] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 93.
[12]Anonimus, “Soren Kierkegaard: Filsuf Eksistensialis yang Menantang Gereja”, http://biokristi.sabda.org/soren_kierkegaard_filsuf_eksistensialis_yang_menantang_gereja, diakses pada tanggal 1 Mei 2009.
[13] Ibid.
[14] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 155.
[15] Ahmad Tafsir, Op Cit, hal. 224.
[16] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Op Cit, hal. 92.
[17] Berkenalan dengan Eksistensialisme, Op Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar