Jumat, 30 Juli 2010

psikologi agama: PROBLEMATIKA GANGGUAN KEJIWAAN BERAGAMA



Presented by: Rabian Syahbana
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya. Maka dalam kesempatan ini kami melihat fenomena dan sekaligus mengkaji serta memaksimalkan untuk memamparkan apa yang dialami oleh orang dewasa yang semakin merugikan diri sendiri dan ada juga yang beruntung. Karena pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara psikologi dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama tanpa psikologi berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada psikologi, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai salah satu contoh kemungkinan ini.[1]
Setiap manusia mempunyai kepribadian/kejiwaan masing-masing yang terbentuk selama perjalanan kehidupan yang dia alami. Adaptasi pada manusia tergantung pada penyesuaian dirinya sendiri. Pada situasi baru, karena manusia tidak sepenuhnya bergantung pada gen, seperti kebanyakan hewan. Adaptasi manusia bergantung pada predisposisi bawaan sehingga diperlukan waktu untuk belajar, jadi kemampuan penyesuaiannya benar-benar sangat kecil/minimal karena refleks dan insting terkait kuat dengan suatu lingkungan tertentu.
Para penderita gangguan kejiwaan sering mengalami stigma kejiwaan secara bersamaan. Gangguan kejiwaan seperti skizofrenia dan gangguan identitas disosiatif masih sering disalahpahami oleh orang lain, sehingga penderita merasa perlu untuk menyembunyikan penyakit kejiwaan ini dari pandangan umum.[2]

PEMBAHASAN
A.     Gangguan kejiwaan beragama
Gangguan kejiwaan dalam karakteristik kepribadian seorang manusia bersumber dari potensi, struktur, dan dinamika yang tidak seimbang. Baik bersifat bawaan, bentukan dengan lingkungan atau karena adanya intervensi di luar manusia seperti syetan, dan juga dari pencipta melalui qada’, ujian dan hukuman pada manusia.
Karen Horney menganggap, bahwa perjuangan menuju rasa aman dalam pengertian terlindungi merupakan tendensi dasar dalam kehidupan setiap individu, apabila tendensi-tendensi ini tidak tercapai atau tidak terpenuhi, muncul rasa kekhawatiran/kecemasan yang dapat mengarah pada perilaku-perilaku yang sakit.[3]
William James mengamati, “Betapapun bergairahnya permulaan pandangan alamiah terhadap kehidupan, pasti akan berakhir dengan kesedihan; kesediahanini berada pada lubuk hati dari setiap pola filosofi yang positivistik, agnostik, atau naturalistik”.[4]
Menurut Roham (1995), manusia hidup dilingkari (dipengaruhi) oleh berbagai kebutuhan dan kekurangan. Iman manusia senantiasa dalam ujian dan perjuangan sesuai dengan pembelajatran. Kadang-kadang Iman-Islam seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada waktu sore harinya. Pengaruh lingkungn sangat dominan, terhadap mutu Iman-Islam seseorang.[5]
Untuk itu Rasullulah SAW mengajarkan doa:
“Ya Rabb, saya mohonkan hidayahMu, jiwa ketaqwaan, kesopanan (tidak suka marah) dan kecukupan”. (HR. Muslim).
Apabila selama ini kita hampir selalu memakai otak dan jarang sekali memakia hati nurani, kita perlu mengubahnya. Mengubahnya bukan lah berarti membalikkan keadaan diman a kita akan memakai hati nurani kita saja dan sekali-kali saja mempergunakan otak kita. Otak kita adalah pengontrol utama dari tubuh fisik kita. Dengan hati nurani sebagai nahkoda diri kitalah yang dapat menjadikan kita lebih dekat dengan Tuhan dan kembali kepadaNYa. Hati nurani sebagai percikan dari Tuhan sendiri adalah anugrah terbesar dari Tuhan untuk kita, yang ada dalam diri kita sendiri.[6]

B.     Kejiwaan beragama yang sehat
Pandangan biblikal tentang jiwa manusia sepenuhnya bersifat religius, dalam pengertian bawa pandangan ini menganggap kesehatan psikologis ditentukan oleh hubungan orang itu dengan Tuhan. Dua ciri yang paling khas mengenai situasi manusia adalah bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan yang baik demi tujuan yang baik dan bahwa kitasemuanya telah terjatuh kedalam jalan kehidupan yang penuh dosa, yang bukan hanya menghalangi hubungan kita dengan Tuhan, tetapi juga merintangi perkembangan kerohanian kita.[7]
Naluri beragama (Garizatu at-Tadayyun)
Garizatu at-Tadayyun (insting beragama) atau Garizatu at-taqdisn insting pensakralan) merupakan  insting bawaan sebagai karakter inhaler penciptaan yang permanen. Insting ini ditandai dengan adanya perasaan lemah pada dirinya. Perasaan lemah ini meskipun ditutup-tutupi dengan berbagai potensi lainnya seperti potensi mempertahankan diri, tetapi tetap muncul, sebab kelemahan manusia merupakan fitrah pula, memang terkadang muncul perasaan kuat, tetapi sifatnya sementara. Manusia dliputi oleh keadaan lemah baik perubahan fisik, dan psikis ketidakberdayaannya mempertahankan umurnya sendiri dan perubahan sel-sel yang menua. Indikasi ini dapat kita saksikan pada ayat-ayat berikut:
* ª!$# Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB 7#÷è|Ê ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ 7#÷è|Ê Zo§qè% ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ ;o§qè% $Zÿ÷è|Ê Zpt7øŠx©ur 4 ß,è=øƒs $tB âä!$t±o ( uqèdur ÞOŠÎ=yèø9$# ãƒÏs)ø9$# ÇÎÍÈ  
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa”. (QS. Ar-Rum 30:54).
Dari perasaan  lemah yang permanen itu muncul keinginan manusia untuk tergantung pada sesuatu dan ketergantungan itu dapat berwujud pada perilaku membutuhkan pada sesuatu di luar dirinya yang kuat, semacam ‘hero’, ingin mengagungkan sesuatu, mengabdikan diri kepada yang dianggap memiliki kekuatan, atau mensakralkan sesuatu.
Insting ini nampak dengan berbagai fakta-fakta penyembahan dan adanya berbagai agama animisme, dinamisme, politheisme, theisme, atau atheisme.[8] Dengan banyaknya agama baru yang bermunculan dan munculnya bentuk-bentuk pengkultusan terhadap benda-benda, orang-orang dan roh-roh. Manusia mendefinisikan hal-hal untuk disakralkan berdasarkan keinginannya dan mereka memberi nama bagi tiap objek atau konsep yang menurutnya sakral. Bisa kita bayangkan bila agama tidak terdefinisikan, maka akan semakin banyak muncul agama-agama. Untuk itulah perlu adanya bimbingan wahyu, sehingga agama-agama manusia yang muncul merupakan sebagai kreasi insting rabbani (tentang ketuhanan) ini. Maka keberadaan wahyu dan agama langit yang hanya satu adakah keniscayaan bagi manusia, bukankah manusia membutuhkan agama yang benar.
Menurut Malony, individu yang sehat secara mental adalah sebagai berikut:
Ø      Pertama adalah memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, ia memiliki kesadaran diri yang baik artinya ia mengetahui dan menerima kelebihan dan kekurangannya. Ia merasa dirinya sendiri apa adanya.
Ø      Kedua, ia mampu  mengaktualisasikan dirinya dengan baik. Ia memiliki cita-cita hidup dan ia merasa dirinya bertambah  ke arah yang dia cita-cita hidup dan ia merasa dirinya bertambah kearah yang dia cita-citakan.
Ø      Ketiga, ia adalah pribadi yang memiliki integritas, ia hidup sesuai apa yang ia katakan dengan perbuatannya ia memiliki satu keseimbangan antara kekuatan motivasi dan falsafah hidup pribadi.
Ø      Keempat, ia memiliki otonomi pribadi, artinya mampu menerima penolakan dari luar serta memiliki komitmen hidup.
Ø      Kelima, memiliki persepsi yang akurat terhadap realita, termasuk melihat realita sebagaimana adanya. Ia tidak menyangkal hal-hal buruk yang terjadi di masa lalunya dan masa kini.
Ø      Keenam, ia memiliki penguasaan terhadap situasi, termasuk mempunyai kontrol diri dalam mengasihi orang lain, dalam pekerjaan termasuk dalam bersahabat dengan orang lain.[9]
Memikirkan penciptaan alam adalah kegiatan yang berpusat pada akal, sedangkan megingat Allah adalah kegiatan yang berpusat pada Kalbu. Keduanya merupakan kesatuan kasiat untuk memahami kebenaran, sehingga manusia mampu meraih kesadaran tinggi, yang tidak terjebak pada dunia empiris dan rasional, tetapi dapat sampai pada hubungannya dengan Allah.[10]
Kualitas kejiwaan atau kepribadian  sesorang tergantung pada pengetahuan yang diperoleh atau dikembangkan oeh akal, sumbernya bisa dari agama (wahyu) maupun dari pengetahuan manusia pada umumnya. Seseorang yang jiwanya berkpribadian Islam mempunyai dasar berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah.

C.     Hambatan-Hambatan Dalam Perkembangan Serta Kematangan Beragama
Perkembangan keagamaan seseorang agar tercapai pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan suatu proses yang sangat panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri seseorang atau karena bersamaan dengan kematangan kepribadiannya.
Seringkali seseorang menemukan dirinya mempunyai pemahaman yang baik akan kemantapan keagamaan hingga ia dewasa atau matang dalam beragama, hal tersebut adalah hasil dari konversi. Sedangkan dengan perkembangan kepribadian seseorang apabila sudah mencapai pada tingkat kedewasaan, maka akan ditandai dengan kematangan jasmani dan rohani.
Pada tahap kedewasaan awal telihat krisis psikologis yang dialami, oleh karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengeratkan hubungan dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk berbagi perasaan, bertukar pikiran dan memecahkan berbagai problem kehidupan denggan orang lain. Mereka yang sudah menginjak pada umur sekitar 25-40 tahun memiliki kecenderungan besar untuk hidup berumah tangga, kehidupan sosial yang lebih luas serta memikirkan masalah-masalah agama yang sejalan dengan latar belakang kehidupannya.
Kematangan atau kecenderungan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena manganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini, William james menyatakan bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia itu, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Tetapi menurut Robert Thoules, dari hasil temuan Gofer, memang menunjukkan bahwa kegiatan orang yang belum berumah tangga sedikit lebih banyak dari mereka yang telah berumah tangga, sedangkan kegiatan keagamaan orang yang sudah bercerai jauh lebih banyak dari keduanya. Menurut Thoules hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan berkorelasi terbaik dengan tingkat pemenuhan seksual sebagai sesuatu yang diharapkan bila penyimpangan seksual itu benar-banar merupakan salah satu faktor yang mendorong di balik prilaku keagamaan itu. Yang paling mencolok adalah kecenderungan emosi keagamaan yang diekspresikan dalam bahasa cinta manusia. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaan senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.[11]
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Dan pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan tersebut, di antaranya adalah:
1.      Faktor diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua yang menonjol di antaranya kepasitas diri dan pengalaman.
a. Kapasitas diri ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaan antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Sejarah menunjukkan bahwa makin banyak pengetahuan diperoleh, makin sedikit kepercayaan agama mengendalikan kehidupan.
b. Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun bagi mereka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.[12]
2. Faktor luar (lingkungan)
Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dan apa yang telah ada. Faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Hal ini sebagai landasan membuat kebiasaan baru yang lebih stabil dan bisa dipertanggungjawabkan serta memiliki kedewasaan dalam beragama. Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mangemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu:
a.       Faktor intern, tediri dari;
Ø       Temperamen; tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
Ø      Gangguan jiwa; orang ang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tungkah lakunya.
Ø      Konflik dan keraguan; konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnotis, maupun ateis.
Ø      Jauh dari tuhan; orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat manghadapi musibah. Adapun ciri-ciri mereka yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut:
1)      Pesimis
2)       Introvert
3)      Menyenangi paham yang otodoks
4)      Mengalami proses keagamaan secara graduasi[13]
b. Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
Ø      Musibah; sering kali musibah yang sangat serius dapat mengguncang seseorang, dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaan.
Ø      Kejahatan; mereka yang hidup dalam lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Sering pula perasaan yang fitrah menghantui dirinya, yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik. Adapun cirri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
1)      Optimisme dan gembira
2)      Ekstrovert dan tidak mendalam
3)      Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.

Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:
a. Menyenangi teologi yang luas dan tidak kaku
b. Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c. Menekankan cinta kasih dari pada kemurkaan dan dosa.
d. Memplopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e. Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f. Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
g. Selalu berpandangan positif.
h. Berkembang secara graduasi.[14]

D.    Cara mengatasi gangguan kejiwaan beragama
Proses perbaikan manusia selain memperbaiki organisasi tubuh dengan perintah syari’ah dalam makan-minum yang halal, baik, cukup dan tidak berlebihan, maka perlu pula memperbaiki aspek ilmu, pemahaman, dan kesadaran melalui serangkaian upaya da’wah (penyampaian secara sistematis dan kontinyu mana yang benar dan mana yang batil), tazkiyah (pembersihan Syubhat, musyrik, khurafat, dalam pikiran sehingga virus-virus pemikiran, dan  kesesatan cara berpikir dan pengetahuan yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam pendidikan (tarbiyah) yang lebih sistematik, maka kesalehan individu, kesalehan masyarakat dan kesalehan sistem bernegara menjadi bagian terintegrasi untuk melahirkan manusia sempurna (al-Insanu al-Kamil).[15]
Larson dan Wilson (1982), menyimpulkan bahwa: “agama berperan sebagai pelindung dari berbagai problem dan bukan sebagai penyebab masalah”; bahwa religiusitas dimasa remaja sangat rendah, bahkan tidak ada, ternyata mempunyai resiko lebih tinggi terlibat dalam penyalahgunaan narkotik . Menurut Larson, orang yang rajin beribadah dan religiusitasnya tinggi, ternyata tekanan darahnya jauh lebih rendah dibandingkan orang yang tidak meyakini dan menghayati agama. Menurutnya, bahwa ada hubungan kausalitas antara religious commitment dengan penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan sampel penelitiannya, bahwa kelompok yang menjalankan ibadah keagamaan secara rutin memiliki risiko lebih rendah terkena kardiovaskuler (tekanan darah tinggi).[16]
Untuk mengatasi gangguan jiwa dibutuhkan terapi, karena terapi bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga sumber permasalahan intrapsikis yang semula tidak sadar, menjadi sadar.[17] Dibutuhkan terapi-terapi bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga sumber permasalahan intrapsikis yang semula tidak sadar, menjadi sadar.[18]
Terapi alternatif bagi gangguan kejiwaan:
1.      Pengobatan oleh kekuatan diri sendiri
2.      Pengaturan pola makan dan nutrisi
3.      Terapi dengan menggunakan hewan
4.      Terapi seni
5.      Terapi tari/gerak
6.      Terapi musik/bunyi
7.      Metode penyembuhan tradisional:
a.       Akupuntur
b.      Ayurveda
c.       yoga[19]
Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. selain itu tinghkah laku itu umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan keluasan pemahaman dtentang ajran agama yang dianutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan tingkah laku keagamaan orang dewasa dapat pula di lihat dari sikap keagamaanya yang memiliki ciri-ciri antara lain:
a)      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan secara ikut-ikutan.
b)      Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma Agama lebih banyak di aplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
c)      Bersikap positift thingking terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha mempelajari dan pemahaman agama.
d)      Tingkat ketaatan agama, berdasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab diri sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup.
e)      Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
f)        Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain di dasarkan atas pertimbangan pikiran juga di dasarkan atas pertimbangan hati nurani.
g)      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang di yakininya.
h)      Terlihat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.[20]
PENUTUP
Becakap-cakap dengan Tuhan, ini akan membuat anda peka atas kehadiran Tuhan pada diri anda dan orang-orang disekitarnya. Ini merupakan doa sejati yang sering dipanjatkan dalam kesunyian, bukan dalam pengangsian diri. Orang yang berdoa selalu menjadi bagian dari masyarakat dan komunitas manapun.
Gangguan kejiwaan adalah halangan atau rintangan yang menyebabkan ketidakwarasan dalam hal kebatinan. Kalau ruang jiwa seseorang sudah terisi pesan-pesan ajaran agama yang berkesan maka mereka tidak akan kehilangan diri dalam kesuksesan maupun kegagalan. Mereka akan menerima kesuksesan maupun kegagalan sebagai sesuatu yang wajar- wajar saja dalam dinamika kehidupan ini. Pejabat yang menyalahgunakan jabatan, orang bunuh diri karena putus asa atau orang melakukan kekerasan karena gelap mata, semuanya itu terjadi karena adanya ruang-ruang kosong dalam jiwanya dari pesan-pesan ajaran agama yang dianutnya.[21]
           










Referensi:
1.      Effendi, Irmansyah.  Hati Nurani. Jakaarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008
2.      MacDonald, Peter. Sehatkah Jiwa dan Kepribadian Anda. Jogjakarta: Mirza. 2009
3.      Mariat, Samsunuwi, dan Lieke Indrieningsih Kartono. Perilaku Manusia.  Bandung: Rafika Aditama. 2006
4.      Maurus, J. Mengenali dan Mengatasi Depresi. NK: Rumpun. 2009
5.      Palmquist, Stephen. Fondasi Psikologi Perkembangan.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2005
6.      Purwanto, Yadi. Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah. Bandung: PT Refika Aditama. 2007
7.      Purwonto, Yadi, dan Rachmat Mulyono. Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006
8.      Setiadi Arif, Iman.  Dinamika Kepribadian, Gangguan dan Terapinya. Bandung: Refika Aditama. 2006)
9.      Setiadi Arif, Iman. Tasawuf Kehidupan Al-Ghazali. Jakarta: CV. Putra Harapan. 1999
10.  Simanjuntak, Julianto.  Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008
11.  Mukhtargozali. “Psikoterapi Dan Keyakinan Beragama “.  (online) avaible: http://muhgoz.blogdetik.com/2010/04/18/psikoterapi-dan-keyakinan-beragama/. diakses pada tanggal 16 Juli 2010
12.  Aninomus. “Agama dan Ruang Kosong dalam Jiwa”. (online) avaible: http://www.scribd.com/doc/3008756/Agama-dan-Ruang-Kosong-dalam-Jiwa. diakses pada tanggal 16 Juli 2010
13.  Anonimus. “Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa”. (online) avaible: http://seekemal.wordpress.com/makalah-kelompok-iii-perkembangan-agama-pada-masa-dewasa/. diakses pada tanggal 16 Juli 2010


[1] Anonimus, “Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa”, (online) avaible: http://seekemal.wordpress.com/makalah-kelompok-iii-perkembangan-agama-pada-masa-dewasa/, diakses pada tanggal 16 Juli 2010.
[2] MacDonald, Peter, Sehatkah Jiwa dan Kepribadian Anda, (Jogjakarta: Mirza, 2009), hal. 15.
[3] Mariat, Samsunuwi, dan Lieke Indrieningsih Kartono, Perilaku Manusia, (Bandung: Rafika Aditama, 2006), hal. 74.
[4] Maurus, J, Mengenali dan Mengatasi Depresi, (NK: Rumpun, 2009), hal. 139-140.
[5] Purwonto, Yadi, dan Rachmat Mulyono, Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hal. 60.
[6] Effendi, Irmansyah, Hati Nurani, (Jakaarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 26-27.
[7] Palmquist, Stephen, Fondasi Psikologi Perkembangan,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2005). 49.
[8] Purwanto.Yadi, Op. Cit., hal. 114-115.
[9] Simanjuntak, Julianto, Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 2-3.
[10] Purwanto.Yadi, Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hal. 156.
[11] Anonimus, “Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa”, Op. Cit.,
[12] Anonimus, “Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa”, Op. Cit.,
[13] Anonimus, “Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa”, Op. Cit.,
[14] Anonimus, “Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa”, Op. Cit.,
[15] Purwanto.Yadi, Op. Cit., hal. 316.
[16] Mukhtargozali, “Psikoterapi Dan Keyakinan Beragama “, (online) avaible: http://muhgoz.blogdetik.com/2010/04/18/psikoterapi-dan-keyakinan-beragama/, diakses pada tanggal 16 Juli 2010.
[17] Setiadi Arif, Iman, Dinamika Kepribadian, Gangguan dan Terapinya, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 87.
[18] Setiadi Arif, Iman, Tasawuf Kehidupan Al-Ghazali, (Jakarta: CV. Putra Harapan, 1999), hal. 81.
[19]MacDonald, Peter, Op. Cit.,  Hal. 34-40.
[20] Anonimus, “Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa”, Op. Cit.,
[21]Aninomus, “Agama dan Ruang Kosong dalam Jiwa”, (online) avaible: http://www.scribd.com/doc/3008756/Agama-dan-Ruang-Kosong-dalam-Jiwa, diakses pada tanggal 16 Juli 2010.

2 komentar:

  1. http://sangkebenaran.blogspot.com/

    Inilah contoh ajaran PEDOFILIA Muhammad:

    Dikisahkan Jabir bin 'Abdullah: Ketika aku menikah, Rasullah bersabda kepadaku, perempuan macam apa yang kamu nikahi? Aku menjawab, aku menikahi seorang janda muda? Beliau bersabda, Mengapa kamu tidak bernafsu pada para perawan dan memanjakannya? Jabir juga berkisah: Rasullah bersabda, mengapa kamu tidak menikahi seorang perawan muda sehingga kamu dapat memuaskan nafsumu dengannya dan dia denganmu?

    Hadits Bukhari Vol.7, Kitab 62, Pasal 17.


    A'isyah (Allah dibuatnya bahagia) diceritakan bahwa Rasullah (semoga damai sejahtera atas beliau) dinikahi ketika usianya tujuh tahun, dan diambilnya untuk rumahnya sebagai pengantin ketika dia sembilan tahun, dan bonekanya masih bersamanya; dan ketika beliau (Nabi Yang Kudus) mampus usianya delapan belas tahun.

    Kitab Sahih Muslim 8, Pasal 3311.


    Dikisahkan A'isyah: bahwa Nabi menikahinya ketika dia berusia enam tahun dan menikmati pernikahannya ketika berusia sembilan tahun. Hisham berkata: Aku telah menceritakan bahwa A'isyah menghabiskan waktunya dengan Nabi selama sembilan tahun (yaitu hingga kematiannya).

    Bukhari Vol.7, Kitab 62, Pasal 65.


    Muhammad telah bernasu birahi kepada anak berusia enam tahun. Apa yang tersimpan di dalam otak Muhammad? Apa pikiran mesum nabi merupakan perbuatan suci?

    BalasHapus
  2. apa dasarmu mengatakan sesuatu itu pikiran mesum??

    BalasHapus